Isu Iran dan Palestina Tantangan Terberat bagi Joe Biden


Siapa pun penghuni Gedung Putih, selalu menempatkan isu Timur Tengah sebagai prioritas dalam kebijakan luar negerinya, termasuk Joe Biden. Isu Iran dan Palestina akan menjadi tantangan bagi pemerintahan Biden.


Oleh MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR


22 Januari 2021, 03:09 WIB


Hari Rabu (20/1/2021), Joe Biden telah dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-46 dan mulai hari itu pula resmi berdinas di Gedung Putih. Siapa pun penghuni Gedung Putih selalu menempatkan isu Timur Tengah sebagai prioritas dalam kebijakan luar negerinya.


Ada dua isu klasik yang selalu membuat penghuni Gedung Putih memberi perhatian khusus terhadap kawasan Timur Tengah, yaitu minyak dan Israel. Sejak berakhirnya Perang Dunia II pada 1945, AS yang menjelma sebagai negara adidaya baru serta-merta memikul tanggung jawab mengontrol kawasan Timur Tengah. Hal itu lantaran adanya kepentingan strategis AS di kawasan itu, yakni minyak dan Israel.


Terkait isu minyak, ada catatan sejarah tentang transaksi antara Raja Arab Saudi Abdul Aziz dan Presiden AS Franklin D Roosevelt di atas kapal perang USS Murphy di Terusan Suez, Mesir, pada 14 Februari 1945. Transaksi itu berupa komitmen AS menjamin keamanan Arab Saudi dengan imbalan jaminan suplai minyak dari Arab Saudi ke AS.


Meskipun ketergantungan AS saat ini atas minyak Timur Tengah sudah sangat berkurang—karena AS sudah berswasembada minyak—--tetapi AS tetap komitmen menjaga kelangsungan transaksi historis tersebut. Hal itu mengingat sekutu AS di Barat, seperti Eropa dan Kanada, tetap bergantung pada minyak Arab Saudi dan negara Arab Teluk lain.


Dunia Barat masih butuh raksasa kekuatan militer AS untuk mengamankan jalur minyak dari kawasan Arab Teluk menuju negara-negara Barat. Itulah latar belakang AS sampai saat ini masih mempertahankan kekuatan militer besar di kawasan Arab Teluk, seperti pangkalan laut Armada V di Bahrain dan pangkalan udara al-Udeid di Qatar. AS juga masih memiliki pangkalan militer yang tersebar di Arab Saudi, Kuwait, Irak, dan Uni Emirat Arab (UEA).


Isu Iran dan Palestina bakal menjadi tantangan kebijakan luar negeri Biden.


Adapun terkait isu Israel, AS semula memiliki tanggung jawab mempertahankan eksistensi negara Israel yang diproklamasikan pada 14 Mei 1948. Namun, seiring semakin kuatnya negara Israel dan bahkan kini mengungguli secara telak semua negara Arab tetangganya, tanggung jawab AS kini beralih. Dari semula menjaga eksistensi negara Israel, AS kini memiliki tanggung jawab membangun perdamaian Israel dengan negara Arab.


Transformasi tanggung jawab AS atas negara Israel tersebut sudah dimulai sejak konferensi damai di Madrid tahun 1991 yang disponsori AS, diikuti kesepakatan Oslo antara Israel dan Palestina tahun 1993 yang didukung penuh AS. Sejak konferensi Madrid 1991, semua Presiden AS meluncurkan proposal damai Arab-Israel atau Israel-Palestina yang berbeda secara taktik satu sama lain.


Semua Presiden AS secara prinsip mendukung solusi dua negara, Israel dan Palestina yang bisa berdampingan secara damai. Namun, tidak satu pun Presiden AS sampai saat ini yang berhasil mewujudkan solusi dua negara tersebut.


Presiden AS Joe Biden yang menggantikan Donald Trump tentu segera menghadapi tantangan untuk mewujudkan solusi dua negara yang bisa diterima semua pihak. Bahkan, tantangan terberat dan langsung berada di depan mata Biden yang harus segera ditangani adalah mewujudkan solusi dua negara itu.


Pemain utama di Timur Tengah dan juga internasional yang berkepentingan dengan solusi dua negara tersebut sudah mulai bermanuver menyambut momentum kedatangan Presiden Biden. Mesir dan Jordania bersama Perancis dan Jerman sudah menggerakkan Munich Group dalam upaya menghidupkan kembali perundingan damai Israel-Palestina yang berpijak pada solusi dua negara.

[21:12, 22/01/2021] Om Amen Bdg: Dukung Iran, Perusahaan China dan UEA Masuk Daftar Hitam AS


AS menuduh 4 perusahaan China dan UEA mendukung penjualan petrokimia Iran


Kamis , 17 Dec 2020, 18:09 WIB


Tehran Times


Rep: Fergi Nadira Red: Nur Aini


REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang berbasis di China dan Uni Emirat Arab (UEA), Rabu (16/12) waktu setempat. AS menuduh perusahaan di kedua negara tersebut mendukung penjualan petrokimia Iran.


Dalam sebuah pernyataan, Departemen Keuangan AS mengatakan, pihaknya telah memasukkan empat entitas ke daftar hitam karena memfasilitasi ekspor produk petrokimia Iran oleh Triliance Petrochemical Co. Ltd. Perusahaan itu pada awal tahun ini terkena sanksi oleh Washington.


"Amerika Serikat akan bertindak terhadap orang-orang yang mendukung aktor terlarang yang terlibat dalam pergerakan penjualan minyak dan petrokimia Iran," kata Menteri Keuangan Steven Mnuchin dalam pernyataan itu seperti dikutip laman Middle East Monitor, Kamis (17/12).


Langkah sanksi baru AS terjadi pada Donghai International Ship Management Ltd yang berbasis di Cina, Petrochem South East Limited yang berbasis di China, Alpha Tech Trading FZE yang berbasis di UEA dan Petroliance Trading FZE yang berbasis di UEA. Perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dukungan kepada Triliance Petrochemical Co Ltd.


Pada Januari, Washington memasukkan daftar hitam Triliance Petrochemical Co Ltd yang berbasis di Hong Kong dan tiga perusahaan petrokimia dan perminyakan lainnya yang menurut Departemen Keuangan secara kolektif mentransfer nilai ekspor senilai ratusan juta dolar dari National Iranian Oil Company. Sanksi AS pada Rabu (16/12) membekukan aset perusahaan AS mana pun dan umumnya melarang orang Amerika untuk berurusan dengan mereka.


"Lembaga keuangan asing yang dengan sengaja memfasilitasi transaksi bagi mereka yang masuk daftar hitam juga berisiko terkena sanksi," kata Departemen Keuangan AS.


Selain itu, yang juga menjadi sasaran dalam langkah AS adalah Perusahaan Transportasi Gas dan Bahan Kimia Vietnam atas hubungannya dengan transaksi signifikan untuk pengangkutan produk minyak bumi dari Iran. Pemerintahan Trump telah menjatuhkan sanksi hampir setiap hari selama beberapa pekan terakhir, yang banyak ditargetkan ke Iran. Para analis mengatakan sanksi yang menekan Teheran tampaknya dirancang untuk mempersulit jalan Presiden terpilih Joe Biden untuk merundingkan kembali kesepakatan nuklir dengan Iran.


AS tengah meningkatkan tekanan pada Iran di akhir masa jabatan Presiden AS Donald Trump. Ketegangan antara Washington dan Teheran juga telah meningkat sejak Trump meninggalkan kesepakatan nuklir Iran 2015 oleh Presiden Barack Obama. Sejak itu, AS memulihkan sanksi keras untuk menekan Teheran agar merundingkan pembatasan yang lebih dalam pada program nuklirnya, pengembangan rudal balistik dan dukungan untuk pasukan proksi regional.


Presiden terpilih Joe Biden, yang akan menjabat pada 20 Januari, mengatakan dia akan mengembalikan AS ke kesepakatan era Obama jika Iran melanjutkan kepatuhan. Presiden Iran Hassan Rouhani pun yakin pemerintahan AS yang akan datang, pimpinan Joe Biden akan mengembalikan AS pada kesepakatan nuklir bersama dengan lima negara lain dan dapat mencabut sanksi AS terhadap Iran.

Comments

Popular posts from this blog

BERMANFAATLAH, SEKECIL APAPUN ITU

ADAB-ADAB DALAM BERUTANG